Jangan Sampai Gratifikasi Turunkan Martabat
By Abdi Satria
nusakini.com-Semarang – Upaya mencegah terjadinya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemprov Jateng terus dilakukan dengan beragam cara. Setelah Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pendidikan Antikorupsi diluncurkan, seluruh inspektorat kabupaten/ kota di Jateng dan para Kepala SKPD digembleng dalam Workshop Pengendalian Gratifikasi di Inspektorat Provinsi Jateng Jalan Pemuda Semarang, Jumat (3/5).
Direktur Gratifikasi Kedeputian Bidang Pencegahan KPK RI Syarief Hidayat menekankan, rapor Indonesia untuk masalah KKN masih di angka 38. Jika kepolisian, jaksa dan KPK tidak bergerak, maka kondisi Indonesia akan terus dalam lingkaran KKN yang merugikan negara maupun rakyat.
“Di Singapura contohnya, sekelas guru, tidak boleh memberi les kepada siswa di sekolah tempat guru itu mengajar. Soal jabatan camat, sekarang ini saja menggunakan uang/ suap. Belum lagi untuk jabatan yang lebih tinggi. Kasus terakhir kita temukan 4.000 amplop dengan total Rp8 miliar untuk kebutuhan serangan fajar. Indonesia ini sudah sangat parah,” katanya.
Upaya menekan korupsi yang sudah dilakukan oleh Pemprov Jateng, misalnya kewajiban melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) hingga eselon empat di Jateng, menurut Syarief patut ditiru oleh daerah lain di Indonesia.
Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Maimoen didampingi Inspektur Provinsi Jateng Hendri Santosa mengatakan, sistem pengetatan kepada penyelenggara negara membuat inspektorat di Jateng terkendala kurangnya SDM dan fasilitas, khususnya kendaraan. Mengingat luasnya wilayah Jateng yang terdiri dari 35 kabupaten/ kota, butuh modal kendaraan untuk menjangkaunya.
“Penghargaan LHKPN menjadi keberhasilan yang selama ini merupakan bentuk integritas dan tanggung jawab yang telah diberikan mayarakat. Kami juga mendorong teman-teman dewan untuk melaporkan kekayaannya. Kami berharap, seluruh pegawai memiliki keterbukaan dalam hal keuangan. Sekecil apapun, kita cegah terjadinya gratifikasi,” ujarnya.
Namun, menurut pria yang akrab disapa Gus Yasin ini, belum jelas angka maksimal yang tidak diperbolehkan dalam aturan gratifikasi. Apalagi jika pihaknya menerima maupun memberikan cenderamata maupun makanan khas ketika menerima kunjungan dari provinsi maupun negara lain, karena tidak disebutkan minimal nilai angkanya.
“Di Jawa, ada budaya memberi suguhan kepada tamu. Kalau tidak dimakan, tuan rumah, rasanya mengecewakan. Dulu, ketika masih menjadi anggota dewan, setiap diundang menjadi pembicara pengajian, menerima amplop (bisyaroh). Setelah menjadi eksekutif/ pemerintahan, saya justru yang harus ninggali amplop. Ini bagaimana coba,” imbuh Gus Yasin.
Gus Yasin juga berharap, para pemimpin daerah agar menjadi pemimpin yang bisa menjadi teladan dan menjunjung tinggi persaudaraan. Jangan sampai, gara-gara gratifikasi menurunkan martabat.(p/ab)